“Hhhh…. Kenapa ya belakagan gue sering dapet sial”, begitu keluh Birun. “Padahal rasa-rasanya udah berbuat baik semampu gue. Masa sih Tuhan masih aja ngasih kesialan ke gue”, tambahnya.
Memang, setengah tahun belakangan Birun yang sehari-harinya menjadi pengusaha tekstil, sering mendapat musibah kecil maupun besar. Dua hari yang lalu saja ia baru kehilangan dompetnya, padahal baru seminggu yang lalu ia kehilangan data-data keuangan di laptopnya karena virus. Sudah tersandung tertimpa tangga pula.
Itu belum seberapa, coba saja bayangkan, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-37, dua bulan yang lalu. Saat ia sedang sangat bergembira merayakan hari jadinya, motor Honda Tiger kesayangannya, yang sudah dimodifikasi, hancur lebur karena dipinjam temannya yang belum fasih mengendarai motornya itu. “Aduh… Mir… kenapa motor gue lu remekin kaya gini”, keluh Birun sambil menyambut temannya, Amir, menenteng motornya yang ringsek. “Iya, Run… sorry banget, gue agak kagok pas tadi di tikungan, dan gue kepeleset. Lu liat nih celana gue pada robek, kaki gue juga pada luka. Masih untung nih gue, gak ikutan ringsek”, ungkap Amir, yang sehari-harinya masih jobless. “Ya udahlah Mir… mau gimana lagi, gue juga gak mungkin minta ganti sama lu.
Bersamaan dengan beberapa “kesialan” atau musibah yang menerpa, sebenarnya usaha yang diijalankan Birun justru sedang bagus-bagusnya. Order seperti gak ada putus-putusnya, bahkan sampai konsumen dari Nigeria-pun sudah banyak yang “nyangkut” jadi pelanggannya. Menyusul Malaysia dan bahkan Australia. Birun pun sudah menambah perbendaharaan kiosnya. Saat ini terhitung sudah tiga kios dia punya.
Tapi kembali lagi kepada keluhan Birun tentang kesialan yang belakangan sering menimpa. Kenapa ya? Padahal si Birun termasuk orang yang rajin ibadah, suka memberi pekerjaan kepada orang lain, dan juga tidak pelit. Logikanya, ia seharusnya bisa hidup nyaman toh?
Sewaktu ketika ia memutuskan untuk “cuti” seminggu untuk berlibur sekedar merenungkan hidupnya. Berangkatlah ia ke rumah almarhumah neneknya yang terletak di sebuah desa di Purwakarta. Di sana ia menginap ditemani sawah, kandang sapi, dan tentunya keterbatasan informasi.
Di sebuah pagi ia sempatkan untuk berjalan berkeliling desa. Sambil mengenakan sarung dan kaus oblong, sudah miriplah ia dengan warga asli desa itu. Tak tahu disengaja atau tidak, sepertinya Birun merasa ada perasaan kuat, tiba-tiba saja dia memberanikan diri menegur, berkenalan dan terlibat pembicaraan dengan seorang pemuda yang menurutnya seumuran dengannya.
“Assalamualaikum”, sapa Birun sambil terus berjalan. “Walaikumsalam”, sahut pemuda yang ternyata bernama Sabri itu. Setelah berkenalan, maka Birun mulai coba mambuka pembicaraan. Dari pembicaraan sekitar keadaan desa, sampai akhirnya singgah ke pembicaraan tentang makna hidup. Tak dilewatkan begitu saja oleh Birun untuk bercerita tentang permasalahannya yang menurut dia pelik.
“Begitulah Bri, kenapa ya kok aku dapet ‘sandungan’ terus ya belakagan ini?”, begitu tanya Birun. Sabri mengerutkan dahi, ia berpikir tentang bagaimana membantu menerangkan jalan dari teman barunya itu.
“Run..”, kata sabri perlahan. “Kalau diibaratkan kita ini sebagai orang yang sedang berbelanja di mal, kita sudah semua beli yang menurut kita dan menurut orang paling okelah. Baju paling oke, celana paling nge-trend, topi paling unik, kaos kaki paling keren, sabuk paling berkelas, sarung tangan paling mengkilap, parfum paling wangi, dan semuanyalah…”, tutur Sabri. “Menurutku, sering kita lupa untuk mampir ke satu toko yang justru punya bobot terpenting di antara yang kita beli tadi. Toko apa Run?, lanjutnya. Birun mulai berpikir, “Toko buku?”. “Bukan”, kata Sabri. “Toko makanan?”, lanjut Birun. “Bukan,” kata Sabri lagi. Dan Birun terus menyebut beberapa toko yang selalu mendapatkan jawaban sama dari Sabri, “Bukan”.
“Lalu apa dong Bri? Aku mulai puyeng nih”, ujar Birun. “Toko cermin, Run”, singkat saja jawaban Sabri. “Dengan mempunyai cermin, kita akan tahu apakah semua yang sudah kita miliki pantas dikenakan, apakah semua yang sudah kita lakukan sudah layak, apakah yang sudah kita perbuat sudah sepadan, dan banyak lagi, Run”, jelas Sabri. “Tanpa cermin, kita gak pernah mau introspeksi diri tentang kekurangan kita, kelemahan kita, kesalahan-kesalahan kita baik dahulu maupun sekarang. Yang kita lihat tanpa cermin hanya yang baik-baik saja menurut penilaian kita sendiri. Kita gak tau bahwa orang lain belum tentu sependapat dengan kita, belum tentu searah dengan kita, belum tentu senang dengan apa yang kita perbuat”, lanjut Sabri. “Karena itulah, dalam hidup ini kita perlu cermin, untuk melihat ke diri kita sendiri. Seperti yang belakangn kamu alami, mungkin ada sebab musababnya di masa lalu yang masih mengganjal. Mungkin kau punya kesalahan-kesalahan yang belum kamu sadari sejak dulu hingga saat ini. Karena kau mungkin lupa bercermin”.
Tanpa harus dijelaskan lebih lanjut, Birun langsung mengangguk-angguk tanda setuju. Nampaknya ia telah mengerti, bahwa selama ini ia tidak pernah bercermin, apakah semua yang telah dilakukannya berkenan di hati orang lain, atau ia juga tak pernah berkaca, apakah semua yang dimilikinya sudah sepatutnya, apakah semua perilakunya dari dulu hingga kini pernah merugikan orang, apakah harta yang dikeluarkannya untuk orang lain sudah seimbang dengan yang didapatnya, apakah…., apakah…., apakah….. dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya yang mulai terungkap. Selama ini ia tidak pernah tahu, karena rupanya ia lupa mampir ke toko cermin…